BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perpustakaan bukan merupakan hal
yang baru di kalangan masyarakat, dimana-mana telah diselenggarakan
perpustakaan, seperti di sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah
kejuruan, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah, bahkan di universitas
sekalipun. Tetapi walaupun bukan merupakan hal yang baru, masih banyak orang
yang memberikan definisi yang salah terhadap perpustakaan. Banyak orang
mengasosiasikan perpustakaan dengan buku-buku, sehingga setiap tumpukan buku
pada suatu tempat tertentu disebut perpustakaan. Padahal tidak semua tumpukan
buku itu dapat dikatakan perpustakaan. Oleh karena itulah kami akan sedikit
membahas tentang apa itu perpustakaan dan yang berhubungan dengannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian perpustakaan?
2.
Bagaimanakah
sejarah perpustakaan dilihat dari berbagai sudut pandang?
3.
Apakah
perpustakaan digital?
4.
Apakah
perpustakaan hibrida?
5.
Bagaimanakah
perpustakaan dari sudut pandang profesi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perpustakaan
Sebelum berbicara soal perpustakaan, kita harus mengetahui
terdahulu apa yang disebut Perpustakaan itu, perpustakaan ialah sesuatu ruang
yang digunakan untuk menyimpan literasi informasi seperti buku, majalah,
jurnal, bibliografi, index ataupun non buku lainnya yang disusun secara
sistematis menurut klasifikasinya agar mudah di temukan kembali. Dan IFLA (International Fendeations fo Library
Associations and Institution) mendefinisikan perpustakaan adalah kumpulan bahan
cetak atau non cetak yang tersusun secara sistematis. Dan para pakar ilmu
perpustakaan di indonesia seperti Sulistio Basuki berpendapat bahwa
perpustakaan adalah, sesuatu gedung, ruang, yang dibuat untuk menyimpan buku
dan terbitan lainnya yang tesusun menurut tatanannya.[1]
Perpustakaan dalam bahasa Indonesia, kata perpustakaan yang kata
dasarnya “pustaka” yang artinya Media Tulis, kemudian kata Pustaka tersebut
mendapat imbuhan kata “per” dan “an” sehingga menjadi “Perpustakaan” yang
artinya semua hal yang berhubungan dengan media tulis atau rekam. Dan didalam
bahasa Inggris Perpustakaan berarti “Library” yang memang sudah dari dulu
berarti tempat penyimpanan buku.
Menurut RUU Perpustakaan pada Bab I pasal 1 menyatakan Perpustakaan
adalah institusi yang mengumpulkan pengetahuan tercetak dan terekam,
mengelolanya dengan cara khusus guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para
penggunanya melalui beragam cara interaksi pengetahuan.
Dalam definisi yang terpapar di atas terdapat kata kunci pada
definisi perpustakaan yaitu Ruang, Buku dan SDM. Tetapi di era ini, koleksi
perpustakaan tidak hanya buku, majalah atau peta tetapi koleksi perpustakaan
juga bisa berupa beberapa file yang mudah kita akses. Kemudian informasi rekam
yang tercetak maupun digital semuanya diklasifikasikan sehingga pengguna dapat
cepat mengakses informasi yang ada dalam perpustakaan.
Dalam kata ”perpustakaan” dalam bahasa indonesia maka berkembanglah
kata-kata yang berhubungan dengan perpustakaan seperti Pustakawan, kepustakaan,
ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dalam kata-kata diatas dapat dijelaskan:
Pustakawan adalah seseorang yang berkerja dengan melayani para
pemakai perpustakaan dan memiliki pendidikan Ilmu perpustakaan secara formal.
Kepustakaan adalah bahan literasi informasi yang digunakan oleh
perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan informasi para pemakai.
Ilmu perpustakaan adalah bidang ilmu yang mepelajari, mengaji dan
meneliti hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan.
Kepustakawanan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya penerapan
ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.
B.
Sejarah
Perpustakan Di Lihat Dari Berbagai Sudut Pandang
1.
Sejarah
perpustakaan pada zaman Rasulullah dan para Sahabat
Di lingkungan islam perpustakaan mulai berperan ialah pada masa
Dinasti Abasiyah yang di Kholifahi oleh Harun Al-Rasyid setelah beliau
meninggal. Pada tauhn 813M sampai 833M (109-123H) perjuangan beliau diteruskan oleh Khalifah
Al-Makmun yang pemerintahannya berpusat di Baghdad, beliau sangat terkenal
dengan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan, peradaban dan
perpustakaan sehingga beliau mendirikan pusat aktivitas budaya yang luar biasa,
khususnya bagi penerjemah dari bahasa yunani ke bahasa arab yang membahas
mengenai ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain. Khalifah juga mengumpulkan
teks-teks dari berbagai arah dan bangsa, seperti mesir, spanyol, yunani,
persia, india, cina dan lain-lain. Adapun penerjemah yang paling masyhur ialah
Hunayn ibn Ishaq. Khalifah mendirikan akademik di Baghdad yang bernama Bayt
Al-Hikmah berserta perpustakaan dan labutorium.
seorang pustakawan yang mengepalai perpustakaan di istahan
Al-Makmun, ia adalah ilmuan yang bernama Muhammad bin Musa (780-850 masehi)
yang dikenal dengan nama Al-khawarizmi karena ia lahir di wilayah Khawarism
yang sekarang bernama Khiva di Uzbekistan. Kemudian Khawarismi menjadi
astronomer di perpustakaan Al-Makmun. Ia telah menulis banyak mengenai ilmu
pengetahuan beberapa diantaranya ialah ilmu matamatika Al-Jabar, arimatika, astonomi, filsafat dan lain-lain.
Sebelumnya pada masa Nabi Muhammad SAW konsep perpustakaan sudah
dikenal Nabi yakni menghimpun, mengolah dan menjaga. Nabi mengangkat sahabat
yang bernama Zaid bin Tasbit untuk menulis semua wahyu Nabi Muhammad yang turun
dari Malaikat Jibril karena Nabi pada masa itu belum bisa menulis dan membaca.
Dan pada masa khulafaurosidin juga sudah ada perpustakaan, yaitu
perpustakaan Refern Wahyu, perpustakaan ini disusun oleh para sahabat yang pada
masa kholifah Abu Bakar pengadaan perpustakaan ini di usulkan oleh sahabat Nabi
yang bernama Umar bin Khattab, Umar bin Khattab mengusulkan untuk mengumpulkan
wahyu-wahyu Allah yang yang turun dan dijadikan satu karena Umar khawatir kalau
wahyu-wahyu Allah yang turun nanti punah, karena banyak para khufad yang
meninggal karena gugur dalam peperangan. Tetapi usulan Umar tersebut banyak
yang ditentang oleh para sahabat lainnya, karena hai itu merupakan hal yang Bid’ah,
Bid’ah merupakan kegiatan yang baru, kegiatan yang tidak ada pada masa Nabi
Muhammad SAW dan hukumnya haram. Para sahabat pun melakukan dialog-dialog,
setelah lama berkat izin Allah SWT, usulan Umar pun di setujuli oleh khalifah
Abu Bakar. Setelah itu Khalifah Abu Bakar membentuk lembaga pengumpul mushaf
dan mengutus Zaid bin Tasbit untuk menjadi ketua lembaga tersebut. Setelah
proses lama pengumpulan mushaf, mushaf pun terkumpul dan dikumplkan di rumah
khalifah Abu Bakar. Setelela lama telah di temukan pembuatan kertas di Negeri
Cina, para sahabat pun ke Cina untuk mempelajari pembuatan kertas. Kertaspun
dibuat oleh para sahabat dan disalinlah mushaf-mushaf yang terkumpul tersebut
pada kertas dan di tempatkan di perpustakaan dan disebarkan ke plosok-plosok.
2.
Sejarah
perpustakaan di Dunia Barat
Kapan perpustakan mulai berdiri tidak pernah diketahui dengan
pasti. Namun berdasarkan penelitian arkeologis, perpustakaan telah dikenal
sejak peradaban Sumeria sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi. Perkembangan
perpustakaan tersebut segera ditiru negara tetangganya seperti Babilonia. Pada
waktu itu orang-orang purba menggunakan bahan tulis berupa tanah liat.
Mula-mula tanah liat diempukkan, kemudian dibuat lempengan. Sewaktu masih
lunak, tanah liat ditulisi, kemudian dikeringkan.
Kerajaan Pergamum berusaha mengembangkan perpustakaan sebagaimana
halnya dengan raja-raja Mesir. Karena waktu itu belum ditemukan mesin cetak,
maka pembuatan naskah dilakukan dengan cara menyalin. Usaha menyalin naskah
dikembangkan oleh kerajaan Pergamum dengan menggunakan bahan tulis berupa
papirus. Untuk mencegah agar perpustakaan Pergamum tidak menjadi saingan
perpustakaan Iskandaria yang berada di Mesir, maka Mesir menghentikan ekspor
papirus ke Pergamum.
Guna menggantikan papirus, Pergamum mengembangkan bahan tulis
berupa kulit binatang yang dikeringkan, kemudian ditulis. Kulit yang digunakan
terbuat dari kulit domba, sapi disebut parchmen. Parchmen yang baik disebut
vellum merupakan bahan tulis hingga abad menengah.
Kegiatan menyalin naskah ini dilakukan pula di pertapaan, sampai
pertapaan menyediakan tempat khusus untuk menulis dan menyalin naskah disebut
scriptorium. Pertapaan bahkan mengembangkan naskah yang dihiasi dengan gambar
miniatur, menggunakan huruf indah disertai dengan warna merah, biru dan emas.
Lukisan pada naskah kuno dengan hiasan dan warna-warni itu disebut iluminasi.
Orang-orang Eropa menemukan mesin cetak sekitar abad ke-15. Pada
awal penemuan mesin cetak, buku dicetak dengan teknik sederhana. Buku yang
dicetak dengan teknik pencetakan sederhana, dicetak antara tahun 1450-1500,
disebut incunabula, merupakan buku langka yang banyak dicari orang.
C.
Perpustakaan
Digital
Konsep perpustakaan digital, perpustakan elektronik ataupun
perpustakaan hibrida sering dianggap sama atau sinonim. Artinya bila menyebut
satu istilah di atas maka istilah itu megacu pada perpustakaan yang sama. Namun
sekarang, konsep perpustakaan digital lebih sering didengar dari istilah
lainnya, karena kebanyakan orang berharap ada ada kemajuan besar dalam dunia
perpustakaan.
Dari sinilah para ahli mulai membatasi istilah perpustakaan
digital. Batasan yang paling sederhana adalah definisi Lesk sebagaimana
dikemukakan Pendit dalam Perpustakaan digital: perspektif perpustakaan
perguruan tinggi, yaitu ”Organized colections of digital information” (2007:29).
Batasan lain yang lebih luas disampaikan Arms seperti dikemukakan Deegan yaitu:[2]
“A Managed collection of information, with associated services,
where the information is stored in digital formats and accessible over network.
A crucial part of this definition is that the information is managed.”
Federasi perpustakaan di Amerika Serikat juga memberi batasan
sebagaimana dikutip oleh Deegan (2002:20) sebagai berikut: “Digital libraries
are organizations that provide the resources, including the specialized staff,
to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute,
preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections
of digital works so that they are readily and economically available for use by
defined community or set of communities”.
Batasan terakhir memberi makna yang lebih luas dari dua terdahulu,
yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber digital disamping
pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat yang diharapkan
dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.
Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit, menyebut ada
tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:[3]
1.
Memakai
teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan
menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang
tersebar luas.
2.
Memiliki
koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data,
baik di lingkungan internal maupun sksternal.
3.
Merupakan
kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan
informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi
institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola,
merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
Karakter terakhir yang menyebut integrasi berbagai lembaga
informasi untuk melayani berbagai masyarakat, merupakan salah satu gambaran
paling dicitakan dalam konsep perpustakaan digital. Dari sisi teknologi, maka
yang menjadi perhatian utama adalah adanya integrasi dan keterkaitan antar
berbagai jenis format data dalam jumlah yang sangat besar; disimpan dan
disebarluaskan melalui jaringan telematika yang bersifat global. Mukaiyama
(1997) mengemukakan setidaknya ada 7 (tujuh ) teknologi yang menjadi perhatian
utama dalam mewujudkan perpustakan digital yaitu:
1.
Contents
processing technology.
Teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, menemukan
kembali informasi digital, baik informasi primer maupun sekunder secara
efektif.
2.
Information
access technology.
Teknologi yang memungkinkan menyediakan akses ke berbagai jenis
informasi tanpa batasan waktu dan tempat.
3.
Human-friendly,
intelellgenet interface.
Antarmuka yang memungkinkan peningkatan produktivitas intelektual
dalam bentuk fasilitas yang juga memungkinkan berbagai pengguna melakukan
berbagai carian informasi.
4.
Interoperability.
Teknologi yang memungkinkan berbagi teknologi yang berbeda-beda
saling bertemu dalam lingkungan yang heterogen.
5.
Scalability.
Teknologi yang memperluas sebaran informasi dan mampu meningkatkan
jumlah pengguna serta memungkinkan aksesnya.
6.
Open
system development.
Teknologi yang memungkinkan penggunaan standard international dan
standar de facto tetapi tidak mengorbankan kinerja keseluruhan. Standarisasi
tidak boleh menyebabkan sistem terlalu lambat.
7.
Highly
system development.
Luasnya cakupan informasi dan cepatnya pertumbuhan perpustakaan
digital dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan teknologi yang dengan
cepat bisa disesuaikan dengan perkembangan sistem sosial.
Dengan persyaratan yang begitu kompleks untuk mewujudkan suatu
perpustakaan digital, maka membangun perpustakaan digital tidak mungkin
dikerjakan oleh perpustakaan perguruan tinggi saja. Proyek besar memerlukan
kerja sama yang erat antara banyak pihak, Upaya ini bisa mencontoh apa yang
sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya mewujudkan perpustakaan
digital dengan perjalanan proses yang lumayan panjang.
Mengacu kasus yang terjadi di Amerika, jelas bahwa upaya
digitalisasi koleksi (membuat perpustakaan digital) bukan persoalan yang mudah.
Perlu dana yang sangat besar disamping didukung kebijakan pemerintah yang kuat.
Bisa dibayangkan kalau seandainya semua koleksi yang ada di perpustakaan
didigitalkan. Berapa banyak tenaga, dana dan waktu untuk merealisasikan program
tersebut. Dan itulah ambisi Amerika sebagai negara terdepan dalam mengembangkan
teknologi informasi. Hebatnya negara maju yang mengandalkan informasi sebagai
salah satu andalan komoditas ekspor, mempunyai kebijakan yang betul–betul
komprehensif. Artinya bahwa pemerintah sepenuh hati berupaya mewujudkan
perpustakaan digital. Ada tiga departemen besar dalam pemerintahan menyatu padu
dalam berupaya merealisasikan cita-cita tersebut. Dalam waktu yang tidak lama,
barangkali Amerika Serikatlah yang berhasil mewujudkan perpustakan digital yang
diimpikan oleh banyak orang.
D.
Perpustakaan
Hibrida
Sebelum banyak
ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan
perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama
kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib
Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu
perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak.
Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah,
dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.[4]
Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara perpustakaan
konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam
media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola
perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam
berbagai format.
Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian
guna mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998
mencatat, setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan
impiannya menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:[5]
1.
HyLife
(Hybrid Library of the Future)
Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta
menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas
layanan elektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of
Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami
bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya
adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah
implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik
sesuai dengan kebutuhan.
2.
Malibu
(Managing the hybrid Library for the Benefit of Users).
Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk
organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga
yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of
Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities.
Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem
yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan
model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan
hibrida.
3.
HeadLine
(Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)
Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London
Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan
mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam
lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan
jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan
mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi
elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.
4.
Builder
(Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)
Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk
mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi,
mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola
perpustakaan sendiri.
5.
Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan
hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang
terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics,
dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management)
dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam
proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search,
locate, request, an deliver.
Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog
berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap
mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus
menomorduakan macam koleksi tententu. Yang membedakan perpustakaan digital
dangan hibrida adalah:
Pertama, hibrida masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan
setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin
mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital.
Kedua, perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi
sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi
komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.
Konsep perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan
keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja
memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku
tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak
harus tetap dipertahankan.
E.
Perpustakaan
Dari Sudut Pandang Profesi
Profesi bermakna
lain dengan pekerjaan. Profesi memerlukan syarat pendidikan dan pelatihan
berdasarkan batang tubuh ilmu pengetahuan yang diakui oleh bidang yang
bersangkutan.
Konsep profesi secara ilmiah mulai dibahas pada abad 17 bersamaan
dengan terjadinya Revolusi Industri. Revolusi Industri yang terjadi di Inggris
ternyata melahirkan berbagai profesi baru, tidak dikenal sebelumnya. Sebelum
itu hanya ada empat profesi tradisional yaitu pendeta atau biarawan, dokter,
pengacara dan perwira angkatan darat. Kini profesi semakin bertambah.
Untuk dapat memenuhi syarat sebuah profesi maka harus ada beberapa
tolok ukur yang harus dipenuhi yaitu:
1.
adanya
asosiasi
2.
pendidikan
3.
isi intelektual
4.
orientasi
pada jasa
5.
kode
etik
6.
tingkat
kemandirian
7.
status
Pustakawan memenuhi syarat sebagai tenaga profesional karena keenam
unsur tersebut di atas dapat dipenuhi. Pustakawan mengenal organisasi profesi,
mengenal tingkat pendidikan pada universitas mulai dari program sarjana,
magister hingga doktor, di dalam pendidikan diberikan bermacam-macam pelajaran
baik teori maupun praktik, sebahagian di antaranya berlandaskan teori yang
semakin berkembang; orientasi pustakawan adalah memberikan jasa tanpa
mengharapkan imbalan uang; ada tingkat kemandirian sebagai sebuah organisasi
profesi dan statusnya sebagai tenaga fungsional telah diakui pemerintah RI.
Dalam pembagian pekerjaan, dikenal tugas profesional dan
non-profesional. Tugas profesional dilakukan oleh pustakawan sedangkan tugas
non-profesional dilakukan oleh mereka yang tidak memperoleh pendidikan khusus
kepustakawanan.
Pemisahan tugas antara profesional dengan non-profesional terlihat
dalam berbagai pekerjaan perpustakaan seperti pada administrasi umum, manajemen
kepegawaian, hubungan masyarakat, pemilihan bahan perpustakaan, pengadaan bahan
perpustakaan, penyiangan, pengkatalogan, klasifikasi, penerbitan, pelestarian,
tugas informasi, bimbingan pembaca serta tugas peminjaman. Pada kesemua tugas
tersebut terdapat perbedaan jelas antara tugas profesional dengan tugas
non-profesional.
BAB III
KESIMPULAN
1.
para
pakar ilmu perpustakaan di indonesia seperti Sulistio Basuki berpendapat bahwa
perpustakaan adalah, sesuatu gedung, ruang, yang dibuat untuk menyimpan buku
dan terbitan lainnya yang tesusun menurut tatanannya.
2.
Di
lingkungan islam perpustakaan mulai berperan ialah pada masa Dinasti Abasiyah
yang di Kholifahi oleh Harun Al-Rasyid setelah beliau meninggal. Pada tauhn
813M sampai 833M (109-123H) perjuangan
beliau diteruskan oleh Khalifah Al-Makmun yang pemerintahannya berpusat di Baghdad.
Namun
berdasarkan penelitian arkeologis, perpustakaan telah dikenal sejak peradaban
Sumeria sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi. Perkembangan perpustakaan tersebut
segera ditiru negara tetangganya seperti Babilonia.
3.
Selanjutnya
Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit, menyebut ada tiga karakter untuk
menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:[6]
a.
Memakai
teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan
menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang
tersebar luas.
b.
Memiliki
koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data,
baik di lingkungan internal maupun sksternal.
c.
Merupakan
kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan
informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi
institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola,
merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
4.
Perpustakaan
hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga
bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.
5.
Profesi
bermakna lain dengan pekerjaan. Profesi memerlukan syarat pendidikan dan
pelatihan berdasarkan batang tubuh ilmu pengetahuan yang diakui oleh bidang
yang bersangkutan.
Tugas
profesional dilakukan oleh pustakawan sedangkan tugas non-profesional dilakukan
oleh mereka yang tidak memperoleh pendidikan khusus kepustakawanan
DAFTAR PUSTAKA
Deegan, Marilyn., Simon Tanner.
(2002). Digital futures: strategy for information age. London: Library
Association Publishing.
Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan
digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung
Seto.
Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
[1] Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu
perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Deegan,
Marilyn., Simon Tanner. (2002). Digital futures: strategy for information
age. London: Library Association Publishing.
[3] Pendit,
Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan
perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
[6] Pendit,
Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan
perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.