Rabu, 08 April 2015

PERPUSTAKAAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perpustakaan bukan merupakan hal yang baru di kalangan masyarakat, dimana-mana telah diselenggarakan perpustakaan, seperti di sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah kejuruan, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah, bahkan di universitas sekalipun. Tetapi walaupun bukan merupakan hal yang baru, masih banyak orang yang memberikan definisi yang salah terhadap perpustakaan. Banyak orang mengasosiasikan perpustakaan dengan buku-buku, sehingga setiap tumpukan buku pada suatu tempat tertentu disebut perpustakaan. Padahal tidak semua tumpukan buku itu dapat dikatakan perpustakaan. Oleh karena itulah kami akan sedikit membahas tentang apa itu perpustakaan dan yang berhubungan dengannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian perpustakaan?
2.      Bagaimanakah sejarah perpustakaan dilihat dari berbagai sudut pandang?
3.      Apakah perpustakaan digital?
4.      Apakah perpustakaan hibrida?
5.      Bagaimanakah perpustakaan dari sudut pandang profesi?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perpustakaan
Sebelum berbicara soal perpustakaan, kita harus mengetahui terdahulu apa yang disebut Perpustakaan itu, perpustakaan ialah sesuatu ruang yang digunakan untuk menyimpan literasi informasi seperti buku, majalah, jurnal, bibliografi, index ataupun non buku lainnya yang disusun secara sistematis menurut klasifikasinya agar mudah di temukan kembali. Dan IFLA  (International Fendeations fo Library Associations and Institution) mendefinisikan perpustakaan adalah kumpulan bahan cetak atau non cetak yang tersusun secara sistematis. Dan para pakar ilmu perpustakaan di indonesia seperti Sulistio Basuki berpendapat bahwa perpustakaan adalah, sesuatu gedung, ruang, yang dibuat untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang tesusun menurut tatanannya.[1]
Perpustakaan dalam bahasa Indonesia, kata perpustakaan yang kata dasarnya “pustaka” yang artinya Media Tulis, kemudian kata Pustaka tersebut mendapat imbuhan kata “per” dan “an” sehingga menjadi “Perpustakaan” yang artinya semua hal yang berhubungan dengan media tulis atau rekam. Dan didalam bahasa Inggris Perpustakaan berarti “Library” yang memang sudah dari dulu berarti tempat penyimpanan buku.
Menurut RUU Perpustakaan pada Bab I pasal 1 menyatakan Perpustakaan adalah institusi yang mengumpulkan pengetahuan tercetak dan terekam, mengelolanya dengan cara khusus guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para penggunanya melalui beragam cara interaksi pengetahuan.
Dalam definisi yang terpapar di atas terdapat kata kunci pada definisi perpustakaan yaitu Ruang, Buku dan SDM. Tetapi di era ini, koleksi perpustakaan tidak hanya buku, majalah atau peta tetapi koleksi perpustakaan juga bisa berupa beberapa file yang mudah kita akses. Kemudian informasi rekam yang tercetak maupun digital semuanya diklasifikasikan sehingga pengguna dapat cepat mengakses informasi yang ada dalam perpustakaan.
Dalam kata ”perpustakaan” dalam bahasa indonesia maka berkembanglah kata-kata yang berhubungan dengan perpustakaan seperti Pustakawan, kepustakaan, ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dalam kata-kata diatas dapat dijelaskan:
Pustakawan adalah seseorang yang berkerja dengan melayani para pemakai perpustakaan dan memiliki pendidikan Ilmu perpustakaan secara formal.
Kepustakaan adalah bahan literasi informasi yang digunakan oleh perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan informasi para pemakai.
Ilmu perpustakaan adalah bidang ilmu yang mepelajari, mengaji dan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan.
Kepustakawanan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya penerapan ilmu perpustakaan dan profesi kepustakawanan.
B.     Sejarah Perpustakan Di Lihat Dari Berbagai Sudut Pandang
1.      Sejarah perpustakaan pada zaman Rasulullah dan para Sahabat
Di lingkungan islam perpustakaan mulai berperan ialah pada masa Dinasti Abasiyah yang di Kholifahi oleh Harun Al-Rasyid setelah beliau meninggal. Pada tauhn 813M sampai 833M (109-123H)  perjuangan beliau diteruskan oleh Khalifah Al-Makmun yang pemerintahannya berpusat di Baghdad, beliau sangat terkenal dengan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan, peradaban dan perpustakaan sehingga beliau mendirikan pusat aktivitas budaya yang luar biasa, khususnya bagi penerjemah dari bahasa yunani ke bahasa arab yang membahas mengenai ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain. Khalifah juga mengumpulkan teks-teks dari berbagai arah dan bangsa, seperti mesir, spanyol, yunani, persia, india, cina dan lain-lain. Adapun penerjemah yang paling masyhur ialah Hunayn ibn Ishaq. Khalifah mendirikan akademik di Baghdad yang bernama Bayt Al-Hikmah berserta perpustakaan dan labutorium.
seorang pustakawan yang mengepalai perpustakaan di istahan Al-Makmun, ia adalah ilmuan yang bernama Muhammad bin Musa (780-850 masehi) yang dikenal dengan nama Al-khawarizmi karena ia lahir di wilayah Khawarism yang sekarang bernama Khiva di Uzbekistan. Kemudian Khawarismi menjadi astronomer di perpustakaan Al-Makmun. Ia telah menulis banyak mengenai ilmu pengetahuan beberapa diantaranya ialah ilmu matamatika Al-Jabar,  arimatika, astonomi, filsafat dan lain-lain.
Sebelumnya pada masa Nabi Muhammad SAW konsep perpustakaan sudah dikenal Nabi yakni menghimpun, mengolah dan menjaga. Nabi mengangkat sahabat yang bernama Zaid bin Tasbit untuk menulis semua wahyu Nabi Muhammad yang turun dari Malaikat Jibril karena Nabi pada masa itu belum bisa menulis dan membaca.
Dan pada masa khulafaurosidin juga sudah ada perpustakaan, yaitu perpustakaan Refern Wahyu, perpustakaan ini disusun oleh para sahabat yang pada masa kholifah Abu Bakar pengadaan perpustakaan ini di usulkan oleh sahabat Nabi yang bernama Umar bin Khattab, Umar bin Khattab mengusulkan untuk mengumpulkan wahyu-wahyu Allah yang yang turun dan dijadikan satu karena Umar khawatir kalau wahyu-wahyu Allah yang turun nanti punah, karena banyak para khufad yang meninggal karena gugur dalam peperangan. Tetapi usulan Umar tersebut banyak yang ditentang oleh para sahabat lainnya, karena hai itu merupakan hal yang Bid’ah, Bid’ah merupakan kegiatan yang baru, kegiatan yang tidak ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan hukumnya haram. Para sahabat pun melakukan dialog-dialog, setelah lama berkat izin Allah SWT, usulan Umar pun di setujuli oleh khalifah Abu Bakar. Setelah itu Khalifah Abu Bakar membentuk lembaga pengumpul mushaf dan mengutus Zaid bin Tasbit untuk menjadi ketua lembaga tersebut. Setelah proses lama pengumpulan mushaf, mushaf pun terkumpul dan dikumplkan di rumah khalifah Abu Bakar. Setelela lama telah di temukan pembuatan kertas di Negeri Cina, para sahabat pun ke Cina untuk mempelajari pembuatan kertas. Kertaspun dibuat oleh para sahabat dan disalinlah mushaf-mushaf yang terkumpul tersebut pada kertas dan di tempatkan di perpustakaan dan disebarkan ke plosok-plosok.
2.      Sejarah perpustakaan di Dunia Barat
Kapan perpustakan mulai berdiri tidak pernah diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan penelitian arkeologis, perpustakaan telah dikenal sejak peradaban Sumeria sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi. Perkembangan perpustakaan tersebut segera ditiru negara tetangganya seperti Babilonia. Pada waktu itu orang-orang purba menggunakan bahan tulis berupa tanah liat. Mula-mula tanah liat diempukkan, kemudian dibuat lempengan. Sewaktu masih lunak, tanah liat ditulisi, kemudian dikeringkan.
Kerajaan Pergamum berusaha mengembangkan perpustakaan sebagaimana halnya dengan raja-raja Mesir. Karena waktu itu belum ditemukan mesin cetak, maka pembuatan naskah dilakukan dengan cara menyalin. Usaha menyalin naskah dikembangkan oleh kerajaan Pergamum dengan menggunakan bahan tulis berupa papirus. Untuk mencegah agar perpustakaan Pergamum tidak menjadi saingan perpustakaan Iskandaria yang berada di Mesir, maka Mesir menghentikan ekspor papirus ke Pergamum.
Guna menggantikan papirus, Pergamum mengembangkan bahan tulis berupa kulit binatang yang dikeringkan, kemudian ditulis. Kulit yang digunakan terbuat dari kulit domba, sapi disebut parchmen. Parchmen yang baik disebut vellum merupakan bahan tulis hingga abad menengah.
Kegiatan menyalin naskah ini dilakukan pula di pertapaan, sampai pertapaan menyediakan tempat khusus untuk menulis dan menyalin naskah disebut scriptorium. Pertapaan bahkan mengembangkan naskah yang dihiasi dengan gambar miniatur, menggunakan huruf indah disertai dengan warna merah, biru dan emas. Lukisan pada naskah kuno dengan hiasan dan warna-warni itu disebut iluminasi.
Orang-orang Eropa menemukan mesin cetak sekitar abad ke-15. Pada awal penemuan mesin cetak, buku dicetak dengan teknik sederhana. Buku yang dicetak dengan teknik pencetakan sederhana, dicetak antara tahun 1450-1500, disebut incunabula, merupakan buku langka yang banyak dicari orang.
C.     Perpustakaan Digital
Konsep perpustakaan digital, perpustakan elektronik ataupun perpustakaan hibrida sering dianggap sama atau sinonim. Artinya bila menyebut satu istilah di atas maka istilah itu megacu pada perpustakaan yang sama. Namun sekarang, konsep perpustakaan digital lebih sering didengar dari istilah lainnya, karena kebanyakan orang berharap ada ada kemajuan besar dalam dunia perpustakaan.
Dari sinilah para ahli mulai membatasi istilah perpustakaan digital. Batasan yang paling sederhana adalah definisi Lesk sebagaimana dikemukakan Pendit dalam Perpustakaan digital: perspektif perpustakaan perguruan tinggi, yaitu ”Organized colections of digital information” (2007:29). Batasan lain yang lebih luas disampaikan Arms seperti dikemukakan Deegan yaitu:[2]
“A Managed collection of information, with associated services, where the information is stored in digital formats and accessible over network. A crucial part of this definition is that the information is managed.”
Federasi perpustakaan di Amerika Serikat juga memberi batasan sebagaimana dikutip oleh Deegan (2002:20) sebagai berikut: “Digital libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by defined community or set of communities”.
Batasan terakhir memberi makna yang lebih luas dari dua terdahulu, yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber digital disamping pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat yang diharapkan dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.
Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit, menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:[3]
1.      Memakai teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas.
2.      Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun sksternal.
3.      Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
Karakter terakhir yang menyebut integrasi berbagai lembaga informasi untuk melayani berbagai masyarakat, merupakan salah satu gambaran paling dicitakan dalam konsep perpustakaan digital. Dari sisi teknologi, maka yang menjadi perhatian utama adalah adanya integrasi dan keterkaitan antar berbagai jenis format data dalam jumlah yang sangat besar; disimpan dan disebarluaskan melalui jaringan telematika yang bersifat global. Mukaiyama (1997) mengemukakan setidaknya ada 7 (tujuh ) teknologi yang menjadi perhatian utama dalam mewujudkan perpustakan digital yaitu:
1.      Contents processing technology.
Teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, menemukan kembali informasi digital, baik informasi primer maupun sekunder secara efektif.
2.      Information access technology.
Teknologi yang memungkinkan menyediakan akses ke berbagai jenis informasi tanpa batasan waktu dan tempat.
3.      Human-friendly, intelellgenet interface.
Antarmuka yang memungkinkan peningkatan produktivitas intelektual dalam bentuk fasilitas yang juga memungkinkan berbagai pengguna melakukan berbagai carian informasi.
4.       Interoperability.
Teknologi yang memungkinkan berbagi teknologi yang berbeda-beda saling bertemu dalam lingkungan yang heterogen.
5.       Scalability.
Teknologi yang memperluas sebaran informasi dan mampu meningkatkan jumlah pengguna serta memungkinkan aksesnya.
6.      Open system development.
Teknologi yang memungkinkan penggunaan standard international dan standar de facto tetapi tidak mengorbankan kinerja keseluruhan. Standarisasi tidak boleh menyebabkan sistem terlalu lambat.
7.      Highly system development.
Luasnya cakupan informasi dan cepatnya pertumbuhan perpustakaan digital dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan teknologi yang dengan cepat bisa disesuaikan dengan perkembangan sistem sosial.
Dengan persyaratan yang begitu kompleks untuk mewujudkan suatu perpustakaan digital, maka membangun perpustakaan digital tidak mungkin dikerjakan oleh perpustakaan perguruan tinggi saja. Proyek besar memerlukan kerja sama yang erat antara banyak pihak, Upaya ini bisa mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya mewujudkan perpustakaan digital dengan perjalanan proses yang lumayan panjang.
Mengacu kasus yang terjadi di Amerika, jelas bahwa upaya digitalisasi koleksi (membuat perpustakaan digital) bukan persoalan yang mudah. Perlu dana yang sangat besar disamping didukung kebijakan pemerintah yang kuat. Bisa dibayangkan kalau seandainya semua koleksi yang ada di perpustakaan didigitalkan. Berapa banyak tenaga, dana dan waktu untuk merealisasikan program tersebut. Dan itulah ambisi Amerika sebagai negara terdepan dalam mengembangkan teknologi informasi. Hebatnya negara maju yang mengandalkan informasi sebagai salah satu andalan komoditas ekspor, mempunyai kebijakan yang betul–betul komprehensif. Artinya bahwa pemerintah sepenuh hati berupaya mewujudkan perpustakaan digital. Ada tiga departemen besar dalam pemerintahan menyatu padu dalam berupaya merealisasikan cita-cita tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, barangkali Amerika Serikatlah yang berhasil mewujudkan perpustakan digital yang diimpikan oleh banyak orang.
D.    Perpustakaan Hibrida
            Sebelum banyak ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak. Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.[4]
Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai format.
Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat, setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:[5]
1.      HyLife (Hybrid Library of the Future)
Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas layanan elektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.
2.      Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users).
Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.
3.      HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)
Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.
4.      Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)
Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.
5.       Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.
Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi tententu. Yang membedakan perpustakaan digital dangan hibrida adalah:
Pertama, hibrida masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital.
Kedua, perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.
Konsep perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.
E.     Perpustakaan Dari Sudut Pandang Profesi
            Profesi bermakna lain dengan pekerjaan. Profesi memerlukan syarat pendidikan dan pelatihan berdasarkan batang tubuh ilmu pengetahuan yang diakui oleh bidang yang bersangkutan.
Konsep profesi secara ilmiah mulai dibahas pada abad 17 bersamaan dengan terjadinya Revolusi Industri. Revolusi Industri yang terjadi di Inggris ternyata melahirkan berbagai profesi baru, tidak dikenal sebelumnya. Sebelum itu hanya ada empat profesi tradisional yaitu pendeta atau biarawan, dokter, pengacara dan perwira angkatan darat. Kini profesi semakin bertambah.
Untuk dapat memenuhi syarat sebuah profesi maka harus ada beberapa tolok ukur yang harus dipenuhi yaitu:
1.      adanya asosiasi
2.      pendidikan
3.       isi intelektual
4.      orientasi pada jasa
5.      kode etik
6.      tingkat kemandirian
7.      status
Pustakawan memenuhi syarat sebagai tenaga profesional karena keenam unsur tersebut di atas dapat dipenuhi. Pustakawan mengenal organisasi profesi, mengenal tingkat pendidikan pada universitas mulai dari program sarjana, magister hingga doktor, di dalam pendidikan diberikan bermacam-macam pelajaran baik teori maupun praktik, sebahagian di antaranya berlandaskan teori yang semakin berkembang; orientasi pustakawan adalah memberikan jasa tanpa mengharapkan imbalan uang; ada tingkat kemandirian sebagai sebuah organisasi profesi dan statusnya sebagai tenaga fungsional telah diakui pemerintah RI.
Dalam pembagian pekerjaan, dikenal tugas profesional dan non-profesional. Tugas profesional dilakukan oleh pustakawan sedangkan tugas non-profesional dilakukan oleh mereka yang tidak memperoleh pendidikan khusus kepustakawanan.
Pemisahan tugas antara profesional dengan non-profesional terlihat dalam berbagai pekerjaan perpustakaan seperti pada administrasi umum, manajemen kepegawaian, hubungan masyarakat, pemilihan bahan perpustakaan, pengadaan bahan perpustakaan, penyiangan, pengkatalogan, klasifikasi, penerbitan, pelestarian, tugas informasi, bimbingan pembaca serta tugas peminjaman. Pada kesemua tugas tersebut terdapat perbedaan jelas antara tugas profesional dengan tugas non-profesional.










BAB III
KESIMPULAN
1.      para pakar ilmu perpustakaan di indonesia seperti Sulistio Basuki berpendapat bahwa perpustakaan adalah, sesuatu gedung, ruang, yang dibuat untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang tesusun menurut tatanannya.
2.      Di lingkungan islam perpustakaan mulai berperan ialah pada masa Dinasti Abasiyah yang di Kholifahi oleh Harun Al-Rasyid setelah beliau meninggal. Pada tauhn 813M sampai 833M (109-123H)  perjuangan beliau diteruskan oleh Khalifah Al-Makmun yang pemerintahannya berpusat di Baghdad.
Namun berdasarkan penelitian arkeologis, perpustakaan telah dikenal sejak peradaban Sumeria sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi. Perkembangan perpustakaan tersebut segera ditiru negara tetangganya seperti Babilonia.
3.      Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit, menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:[6]
a.       Memakai teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas.
b.      Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun sksternal.
c.       Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
4.      Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.
5.      Profesi bermakna lain dengan pekerjaan. Profesi memerlukan syarat pendidikan dan pelatihan berdasarkan batang tubuh ilmu pengetahuan yang diakui oleh bidang yang bersangkutan.
Tugas profesional dilakukan oleh pustakawan sedangkan tugas non-profesional dilakukan oleh mereka yang tidak memperoleh pendidikan khusus kepustakawanan































DAFTAR PUSTAKA
Deegan, Marilyn., Simon Tanner. (2002). Digital futures: strategy for information age. London: Library Association Publishing.
Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.













[1] Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Deegan, Marilyn., Simon Tanner. (2002). Digital futures: strategy for information age. London: Library Association Publishing.
[3] Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
[6] Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.