MAKALAH
PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS
SANAD DAN DARI SEGI KUANTITAS ROWI
![](file:///C:/Users/Keniea/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Dosen Pembimbing :
Andik Wahyun Muqoyyidin, M.PdI
Disusun Oleh :
IB MUSTHOFA KEVIN 4113092
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL
ULUM
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN SISTEM INFORMASI
JANUARI 2014
KATA PENGANTAR
Hanya untaian kalimat puji syukur yang
dapat kami panjatkan kepada Allah SWT tanpa henti, sebab hanya karena Ma’unah
dan Inayah-Nya saja proses penyusunan Makalah ini dapat kami selesaikan.
Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas dari dosen guna menambah dan meningkatkan pengetahuan tentang
studi keislaman I bagi mahasiswa-mahasiswi Kelompok VI yang sedang duduk
dibangku kuliah semester 1 Fakultas teknik jurusan system informasi Universitas
Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU). Penyusunan Makalah ini hanya bersifat suplemen atau sebagai
materi tambahan dalam penguasaan kelompok Mata Kuliah studi keislaman.
Karenanya penyusunan makalah ini dirasa sangat perlu untuk bahan pembelajaran
bagi pembaca umumnya dan khususnya bagi kami selaku penyusun makalah ini.
Meskipun penyusun berusaha menutupi
kekurangan, namun perlu diakui bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu saran dan kritik dari semuanya sangatlah kami harapkan guna koreksi pembelajaran
kami kedepan.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami
berserah diri. Semoga apa yang telah kami upayakan bisa memberikan manfaat yang
maksimal dan dapat mendapatkan Ridlo-Nya. Semoga Allah Ta’ala juga membersihkan
dan memaafkan niat-niat yang kurang tulus.
Jombang, 09-januari-2014
Penyusun
KELOMPOK VI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw. baik itu Hadis qauli, Hadis fi’li maupun Hadis
taqriri. Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, Hadis memiliki kedudukan yang
penting di dalam Islam. Oleh sebab itu Hadis tidak hanya menjadi sumber hukum
Islam, tetapi juga menjadi sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi pedoman
ataupun acuan yang diperlukan di dalam menjalankan tata kehidupan manusia pada
umumnya dan khususnya bagi umat Islam.
Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum
Islam, tidak dapat dianggap remeh ataupun dianggap tidak penting, karena begitu
pentingnya, maka Hadis harus dapat diseleksi dan diteliti kebenarannya.
Penelitian Hadis dilakukan untuk mengetahui akan kebenaran Hadis tersebut
datangnya dari Nabi Muhammad saw. atau bukan. Sehingga untuk menemukan
kebenaran itu, para ulama Hadis bekerja keras untuk menelitinya, sampai
hipotesa ataupun anggapan sementara yang sebelumnya dapat terungkap melalui
penelitian. Dengan ditemukannya kebenaran Hadis, maka Hadis dimaksud dapat dijadikan
hujjah dalam pengambilan hukum di dalam Islam.
Apabila suatu Hadis tidak dapat
diterima kebenarannya, maka Hadis tersebut tertolak atau tidak dapat diterima
kehujjahannya. Kehujjahan Hadis dapat diterima apabila syarat-syarat Hadis
telah terpenuhi seluruhnya ataupun Hadis tersebut diterima oleh banyak orang,
dimana sekelompok orang itu tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Tetapi
ada juga Hadis yang hanya diterima oleh hanya satu, dua, atau tiga orang saja
dan orang-orang itu dapat membacakan Hadis tersebut kepada beberapa orang juga,
dan dapat memasyhurkannya di kalangan tertentu saja. Untuk itu pemakalah akan
membahas tentang permasalahan pembagian Hadis berdasarkan kualitas sanad dan
kuantitas rowi.
B.
Rumusan masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi.
2. Pembagian hadits dari segi kualitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian
hadist dari segi kualitas sanad
I. Hadits Shahih
1. Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih (الصحيخ) dalam bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim (السقيم) = orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih
adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
Hadits yang
bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat
yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur
transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat
(penyakit).
Sifatnya hadist shohih di bagi menjadi
5;
a.
Sanad
bersambung :
Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya
telah mengambil periwayatan itu secara
langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga
akhirnya.
b.
rawi-rawinya
adil
rawi yang adil adalah perangai yang
senantiasa menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru`ah. yang dimaksud adil di
sini ialah adil dalam meriwayatkan hadist, yaitu orang yang mukallaf, yang
selamat dari fasik dan sifat-sifat yang rendah. oleh karena itu, orang kafir,
fasiq, gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak masuk orang yang adil.
sedangkan, orang perempuan, budak dan anak yang sudah mumazziz bias digolongkan
orang yang adil apabila memenuhi kateria tersebut. keadilan seorang perawi
menurut ibnu’s-sam’any, harus memnuhi empat syarat:
1) selalu memelihara
perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
2) menjahui dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan
sopan santun.
3) tidak malakukan perkara-perkara yang berbau mubah yang
dapat menggugurkan imam kepada kadar dan
mengkibatkan penyesalan.
4) tidak
mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’.
Pengarang al-irsyad menta’rifkan
perkataan “adil” itu adalah berpegang teguh kepada pedoman adab-adab syara’.
baik yerhadap perintah yang harus dilakukan, maupun larangan yang harus ditinggalkan.
c. rawi-Rawinya sempurna kedhabitannya
Yang dimaksud dengan dhabit ialah
orang yang kuat ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak dari pada
lupanya. dan kebenaran lebih banyak dari pada kasalahannya. kalau seseorang
mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan
kepada orang lain dan ingatanya itu sanggup dibuktikan kapan dan dimana
saja.maka orang tersebut disebut orang yang dlabithu’ sh-shadri.
d.
Tanpa
Syudzûdz
Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan
hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan
dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
e.
Tanpa
‘illat
Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan
hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab
yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits
sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
2. Pembagian Hadis Shahih.
Para ahli
hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih
li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan
perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis
shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a. Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima
tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih
dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang
kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak
terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau
sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi
apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya
atau yang lebih kuat dari padanya.
4. Contoh hadis shohih
Untuk lebih
mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, untuk itu ada baiknya kami
berikan sebuah contoh.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh
Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah
bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada
kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia
berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah
membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a. Sanadnya bersambung, sebab
masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya.
Sedangkan penggunaan lafazh an(dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair
termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan
periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka
mengaburkan riwayat).
b. Para periwayatnya dikenal sebagai
orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu
sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin
Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh
disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah.
Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c. Tidak terdapatnya kejanggalan
(Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
d. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
II. Hadits Hasan
1. Definisi
Secara bahasa,
Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama
mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
a. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: “Hadits yang
dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil
(bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi
SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.”
b. Jumhur ulama: Hadits yang
dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan
matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits
hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh
dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan
tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
2. Klasifikasi Hadits Hasan
a. Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi
syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang
yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan
illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
......”Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap
waktu shalat....
b. Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak
sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak
salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya
adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi
yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi
ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka
derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid,
maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah
hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang
sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
"Apakah kamu rela menyerahkan
diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu
menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah),
karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin
Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya.
Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi
hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah
berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling
tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan
Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits
Makbul).
3. Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi
Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi
diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari
derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat
pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada
sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
III. Hadits
Dhaif
a.
Pengertian
Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits
dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang
diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits
yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang
tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias
diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat
hadits shahih dan hasan.
Jika hadits
dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits
hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para
perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau
matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau
matan.
c.
contoh
hadits dhaif
Hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu
Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:
من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل عل محمد
“Barang siapa yang mendatangi pada
seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang
(dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw.”
Dalam sanad hadits di atas terdapat seorang dhaif yaitu
Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Taqrib At-Tahzhib memberikan komentar : فيه لين = padanya lemah.
c.
Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif
tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti
sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang
berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah,
targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain.
Dalam
meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :
رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan
karena berhati-hati (ikhtiyath).
d.
Pengamalan hadits dhaif
Para ulama
berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3
pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara
mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum
sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in.
pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak
baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu
Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari
pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail
al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib
(ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
Pembagian
hadist dhaif ada bermacam-macam pendapat, ada yang mengatakan hadist dhaif di
bagi menjadi 18, ada juga yang mengatakan 49 dan 42.
B.
Pembagian
hadist dari segi kuantitas rowi
Para ulama
hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri,
tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1.
Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir
berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia
merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika
atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi
lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا
كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca
indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang
mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat
dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama
mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan
ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir
harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka
tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah
minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang
mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10
orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai
ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan
antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan
jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan
tanggapan pancaindra, berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-macam mutawatir
Hadits
mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)
Hadits
mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
Rasulullah SAW bersabda,
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka”.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits
mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi
lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال
ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga
nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’
(HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir
‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan
seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits
mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan
Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat
mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir
(termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn
Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya
harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat
perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat
berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab
yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar
Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad
‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm
Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata ahad
merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata
wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka
bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits
yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya,
hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad
menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi
menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti
“sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada
beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus
shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang
memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits
ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang
hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang
berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan,
baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya
atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik
pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari
aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli
hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut
sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
(H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur
dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
“Raulullah SAW melarang
jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti
:
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu
perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia
memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila
ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad)”.
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah
harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan
melalui merekapun mengenal-Ku”.
6) Masyhur
dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
B. Hadits
Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits
ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal
dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits
Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa
sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih,
tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah
perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa
hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan
bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan
dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan
oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang
di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya,
anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa
berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah
“hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud
dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan
hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang
meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi
itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan
kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
BAB III
KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari
kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu :
mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi
dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi
lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari
segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
yang dahif.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Muhammad bin sayyid ‘alawy bin
sayyid abbas al maliky al has any, qowa’idul ‘asyasyah, Surabaya: al ma’had
dinyah assalafi “al fithrah”, 2005
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang
Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan
keempat), 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar