Sabtu, 06 Desember 2014

manajemen pembiayaan pendidikan makro

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dari semua sumber daya pendidikan yang dianggap penting adalah uang. Uang ini ibarat kuda dan pendidikan sebagai gerobak. Gerobak tidak akan berjalan tanpa ditarik kuda. Pendidikan tidak akan berjalan tanpa adanya biaya atau uang. Uang ini termasuk sumber daya yang langka dan terbatas. Sehingga, uang perlu dikelola dengan efektif dan efisien agar membantu pencapaian tujuan pendidikan.
Manajemen Pembiayaan dalam lembaga pendidikan berbeda dengan manajemen pembiayaan perusahaan yang berorientasi profit atau laba. Organisasi pendidikan dikategorikan sebagai organisasi publik yang nirlaba (non profit). Oleh karena itu, manajemen pembiayaan memiliki keunikan sesuai dengan misi dan karakteristik pendidikan.
Secara umum pembiayaan pendidikan adalah sebuah kompleksitas, yang didalamnya akan terdapat saling keterkaitan pada setiap komponen, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga yang makro (nasional), yang meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaannya, akutabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan yang terjadi pada semua tataran, khususnya sekolah, dan permasalahan-permasalahan yang masih terkait dengan pembiayaan pendidikan. Oleh karena itulah kami akan membahasnya dalam makalah di bawah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian manajemen pembiayaan pendidikan?
2.      Bagaimanakah manajemen pembiayaan pendidikan dalam tingkat makro?






BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Menejemen Pembiayaan Pendidikan
Menejemen pendidikan merupakan suatu cabang ilmu yang usianya relative masih muda sehingga tidak aneh apabila banyak yang belum mengenalnya. Istilah lama yang sering digunakan adalah administrasi. Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur, mengurus atau mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap istilah manajemen ini. Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang kiranya dapat dijadikan pegangan dalam memahami manajemen tersebut, yaitu: manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/ pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
Lebih lanjut menurut Mulyani A. Nurhadi (1983)[1] manajemen merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dilakukan dari, oleh dan untuk manusia. Rangkaian kegiatan itu merupakan suatu proses pengelolaan dari suatu rangkaian kegiatan pendidikan yang sifatnya kompleks dan unik yang berbeda dengan tujuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuan pendidikan ini tidak terlepas dari pendidikan secara umum dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh suatu bangsa. Proses pengelolaan itu dilakukan oleh sekelompok manusia yang tergabung dalam suatu organisasi sehingga kegiatannya harus dijaga agar tercipta kondisi kerja yang harmonis tanpa mengorbankan unsur-unsur manusia yang terlibat dalam kegiatan pendidikan ini. Proses itu dilakukan dalam rangka mencapai sutu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yang dalam hal ini meliputi tujuan yang bersifat umum dan yang diemban oleh tiap-tiap organisasi pendidikan (skala tujuan khusus). Proses pengelolaan itu dilakukan agar tujuannya dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Manajemen menurut Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa manajemen yaitu “Proses untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.
Manajemen pendidikan adalah rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerja sama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu, terutama berupa lembaga pendidikan formal.
Tujuan kegiatan manajemen pendidikan adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan kegiatan operasional kependidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. (Hadari Nawawi, 1981). [2]
Biaya pendidikan merupakan komponen instrumental yang sangat penting dalam keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Dalam mencapai tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kualitatif maupun tujuan kuantitatif, peranan biaya merupakan salah satu faktor yang menentukan. Setiap upaya pendidikan tidak terlepas dari adanya biaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan.
Pembiayaan adalah kemampuan interval sistem pendidikan untuk mengelola dana-dana pendidikan secara efisien.
Pembiayaan pendidikan adalah sebagai nilai rupiah dari seluruh sumber daya (input) yang digunakan untuk suatu kegiatan pendidikan. Pembiayaan pendidikan tidak hanya menyangkut analisa sumber, tetapi juga menggunakan dana secara efisien. Semakin efisien sistem pendidikan itu semakin kurang pula dana yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya dan lebih banyak yang dicapai dengan anggaran yang tersedia.
Manajemen pembiayaan pendidikan adalah segenap kegiatan yang berkenaan dengan penataan sumber, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Kegiatan yang ada dalam manajemen pembiayaan meliputi tiga hal, yaitu: penyusunan anggaran, pembiayaan, pemeriksaan.
2.      Manajemen Pembiayaan Pendidikan Tingkat Makro (Nasional)
Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Pembiayaan pendidikan yang bersifat makro maupun mikro haruslah tepat dan adil dan mengarah pada tujuan pendidikan nasional. Anatomi pembiayaan baik makro maupun mikro harus dipahami secara benar sehingga para pengambil keputusan sungguh dapat menghasilkan kebijakan yang tepat. Diperlukan suatu penelitian atau studi yang mendalam khususnya saat menentukan kebijakan pembiayaan pendidikan yang bersifat mikro, yaitu pada tataran lembaga/sekolah. Pada umumnya penelitian lebih terfokus pada pembiayaan pendidikan dalam skala makro (Nasional).[3].
Dalam pengelolaan pendidikan, khususnya sebuah sekolah tentunya sumber biaya terdapat dari sejumlah pihak atau sektor yang dapat membantu dalam manajemen pembiayaan tersebut. Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro (Nasional) berasal dari:
a.       pendapatan Negara dari sector pajak (yang beragam jenisnya)
b.      pendapatan Negara dari sector non pajak, misalnya dari pemanfaatan sumber daya alam dan produksi nasional lainnya yang lazim dikategorikan ke dalam gas dan non migas.
c.       keuntungan dari sector barang dan jasa
d.      usaha-usaha Negara lainnya, termasuk dari divestasi saham dan perusahaan Negara (BUMN)
e.       bantuan dalam bentuk hibah (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) baik dari lembaga-lembaga keuangan Internasional ( seperti Bank Dunia, ADB, IMF, IDB, JICA) maupun pemerintah, baik melalui kerjasama multilateral maupun bilateral.
Menurut Depdiknas (2007), sumber-sumber pendapatan sekolah dapat berasal dari: [4]
a.       Pemerintah, yang meliputi: Pemerintah Pusat, yang dialokasikan melalui APBN serta Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dialokasikan melalui APBD;
b.       Usaha mandiri sekolah, yang berupa kegiatan: pengelolaan kantin sekolah, koperasi sekolah, wartel, jasa antar jemput siswa, panen kebun sekolah; kegiatan sekolah yang menarik sehingga ada sponsor yang memberi dana; kegiatan seminar/ pelatihan/lokakarya dengan dana dari peserta yang dapat disisihkan sisa anggarannya untuk sekolah; serta penyelenggaraan lomba kesenian dengan biaya dari peserta atau perusahaan yang dapat disisihkan sebagian dananya untuk sekolah;
c.       Orang tua siswa, yang berupa sumbangan fasilitas belajar siswa, sumbangan pembangunan gedung, iuran BP3, dan SPP;
d.      Dunia usaha dan industri, yang dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai kegiatan, baik berupa bantuan uang maupun fasilitas sekolah;
e.       Hibah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, di mana kepala sekolah perlu menyusun proposal yang menguraikan kebutuhan pengembangan program sekolah;
f.        Yayasan penye-lenggara pendidikan bagi lembaga pendi-dikan swasta;
g.        Masyarakat luas.
 Sementara di tingkat daerah, baik tingkat satu maupun tingkat dua berasal dari kucuran dana dari pusat beserta yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara dalam tataran sekolah, baik sekolah swasta maupun negeri pada dasarnya berasal dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa dan sumbangan masyarakat (Supriadi, 2010: 4).[5]
Mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, negaralah yang paling bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan secara makro. Akan tetapi peran masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan juga tidak boleh dimatikan. Ketentuan dalam UU Sisdiknas Bab VIII tentang Wajib Belajar, Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain seperti BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Dalam teori dan praktik pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan (Anwar, 1991; [6] Gaffar, 1991;[7]  Thomas, 1971).[8]
a.       biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan, misalnya pakaian, papan tulis, dan lain sebagainya. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetepi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan, dan lain-lain.
b.      biaya pribadi dan biaya sosial. Biaya pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal dengan pengeluaran rumah tangga. Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pada dasarnya termasuk biaya sosial.
c.       biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-monatary cost).
Dalam kenyataannya, ketiga kategori biaya pendidikan tersebut dapat bertumpang tindih, misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang.












BAB III
KESIMPULAN

1.      Manajemen pembiayaan pendidikan adalah segenap kegiatan yang berkenaan dengan penataan sumber, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan.
2.      Menurut Depdiknas (2007), sumber-sumber pendapatan sekolah dapat berasal dari:
a.       Pemerintah, yang meliputi: Pemerintah Pusat, yang dialokasikan melalui APBN serta Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dialokasikan melalui APBD.
b.       Usaha mandiri sekolah, yang berupa kegiatan: pengelolaan kantin sekolah, koperasi sekolah, wartel, jasa antar jemput siswa, panen kebun sekolah; kegiatan sekolah yang menarik sehingga ada sponsor yang memberi dana; kegiatan seminar/ pelatihan/lokakarya dengan dana dari peserta yang dapat disisihkan sisa anggarannya untuk sekolah; serta penyelenggaraan lomba kesenian dengan biaya dari peserta atau perusahaan yang dapat disisihkan sebagian dananya untuk sekolah;
c.       Orang tua siswa, yang berupa sumbangan fasilitas belajar siswa, sumbangan pembangunan gedung, iuran BP3, dan SPP;
d.      Dunia usaha dan industri, yang dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai kegiatan, baik berupa bantuan uang maupun fasilitas sekolah;
e.       Hibah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, di mana kepala sekolah perlu menyusun proposal yang menguraikan kebutuhan pengembangan program sekolah;
f.        Yayasan penyelenggara pendidikan bagi lembaga pendidikan swasta;
g.        Masyarakat luas.
Dalam teori dan praktik pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan (Anwar, 1991,Gaffar, 1991, Thomas, 1971).
a.       biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost).
b.      biaya pribadi dan biaya sosial.
c.       biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-monatary cost).

DAFTAR PUSTAKA
Muljani A. Nurhadi. 1983. Administrasi Pendidikan Di Sekolah. Yogyakarta: Andi Offset
Hadari, Nawawi. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT. Gunung Agung
Supriadi, Dedi. 2010. Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Anwar, M.I. 1991. “Biaya Pendidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun X 1991.
Gaffar, M.F. (1991) “Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun X, 1991.
Thomas, J.A.(1971).The Productive School: A Sytem Analysis Approach to Educational Administration. New York: John Wiley & Sons.
Depdiknas. 2005. Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010).





[1] Muljani A. Nurhadi. 1983. Administrasi Pendidikan Di Sekolah. Yogyakarta: Andi Offset. Hal, 34-35
[2] Hadari, Nawawi. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT. Gunung Agung. Hal, 78.
[3] Supriadi, Dedi. 2010. Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal, 89-90
[4] Depdiknas. 2005. Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009. (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 16 Oktober 2010)
[5] Ibid, hal, 91
[6] Anwar, M.I. 1991. “Biaya Pendidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun X 1991. Hal, 28-33.
[7] Gaffar, M.F. (1991) “Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun X, 1991. Hal, 56-60.
[8] Thomas, J.A.(1971).The Productive School: A Sytem Analysis Approach to Educational Administration. New York: John Wiley & Sons. Hal, 66-67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar