BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti yang
kita ketahui bahwa sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada
sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai
lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus
menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa
penjajahan.
Ketika
Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali
bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam.
Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu.
Pemerintah RI
tidak kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya,
terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun
1946. Dan salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup
mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama
tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975.
Maka dari itu,
dalam makalah ini kami akan membahs tentang apa itu SKB menteri beserta sesuatu
yang berhubungan dengannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana lahirnya SKB 3 Menteri?
2.
Bagaimana Implikasi dari SKB
3 Menteri?
3.
Bagaimana Efektifitas dari SKB 3 Menteri?
4.
Bagaimanakah Madrasah dan diberlakukannya SKB 3 Menteri?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya SKB 3 Menteri 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “ Tanggung-Jawab Fungsional
Pendidikan dan Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal:[1]
1.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab
atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
2.
Menteri tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3.
Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab
atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi
Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama
yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan
masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama
merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu,
dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini,
maka Departemen Agama sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang
bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan.
Dengan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu,
penyelenggaran umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung
jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini
mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah
menggunakan kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang
kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup
keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini
juga dipandang oleh sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk
mengabaikan peran dan manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama
pendidikan dan pembinaan umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat
Islam yang lebih diperhatikan pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang
jauh dari pusat pemerintahan, yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh
umat Islam.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam.
Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12
tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak
disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah
(umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua,
umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah
terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan
dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974
yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan
nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde
Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam
kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.
Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah,
maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti
Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb)
dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). SKB ini dapat
dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan
eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya
usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang
integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi
madrasah.
B.
Implikasi SKB 3 Menteri 1975
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain adalah:[2]
1.
Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga
pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan
siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari
itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah
bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada
Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh
posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada
legitimasi politis pengelolaan madrasah.
2.
Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah
umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata
pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu
pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang
berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga
agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
3.
Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
a.
Ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah
umum yang setingkat.
b.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
c.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
4.
Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi
keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi
kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat
pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah
wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli
pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan
prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan
dengan yang berstatus negeri (9%).
Trend pengelolaan pendidikan yang
semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang
seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari
berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya
tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat
agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan
berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat
sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai
obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan
dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan
sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat.
Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap
prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta
masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara
lain:[3]
a.
Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan
sekolah dan luar sekolah.
b.
Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
c.
Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan
sebagainya).
d.
Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan
oleh sekolah.
e.
Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan
sebagainya.
f.
Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan
sebagainya.
g.
Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
h.
Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
i.
Pemberian bantuan managemen pendidikan.
j.
Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan
pendidikan.
C.
Efektifitas SKB 3 Menteri 1975
1.
Keputusan Bersama Tiga Menteri tersebut bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari
madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di
sekolah umum yang setingkat, sehingga:
a.
Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah
sekolah umum yang setingkat.
b.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih
atas.
c.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
2.
Peningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan
di atas tercapai meliputi bidang – bidang :
a.
Kurikulum
b.
Buku – buku pelajaran, alat – alat pendidikan lainnya dan sarana –
sarana pendidikan lainnya.
c.
Pengajar.
3.
Pembinaan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada
madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri tersebut dilakukan pembagian tugas
pembinaan sebagai berikut:
a.
Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b.
Pembinaan pelajaran agama dilakukan oleh Menteri Agama.
c.
Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bersama – sama Menteri Agama dan Menteri dalam
Negeri.
Adapun bantuan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pada
madrasah meliputi sebagai berikut:
a.
Dalam bidang pengajaran umum dengan mengadakan buku – buku mata
pelajaran pokok dan alat pendidikan lainnya.
b.
Dalam bidang sarana fisik dengan melakukan penataran dan bantuan
pengajaran.
c.
Dalam bidang sarana fisik dengan pembangunan gedung sekolah.
Sedangkan pelaksanaan bantuan tersebut di atas diatur bersama – sama oleh
Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri.
d.
Badan anggaran dalam pelaksanaan ketentuan – ketentuan dalam SKB
Tiga Menteri tersebut di atas, dibebankan kepada anggaran Departemen Agama,
sedangkan yang berupa bantuan dibebankan kepada anggaran Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri.
e.
Dalam pelaksanaan SKB Tiga Menteri ini, Departemen Agama sesuai
dengan tugas dan fungsinya dalam bidang – bidang yang harus dilaksanakan telah
mengusahakan hal – hal sebagai berikut:
1)
Melakukan pembakuan kurikulum madrasah untuk semua tingkat yang
realisasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk
Ibtidaiyah; No. 74 Tahun 1976 untuk Tsanawiyah; dan No. 75 Tahun 1976 untuk
tingkat Aliyah. Pelaksanaan kurikulum ini dilaksanakan secara bertahap sejak
tahun ajaran 1976 dan dalam tahun 1979 semua jenjang madrasah harus telah dapat
melaksanakan kurikulum baru tersebut.
2)
Memberikan legalitas yuridis untuk mempersamakan tingkat / derajat
madrasah dengan sekolah umum dan mempersembahkan ijazah madrasah swasta dengan
madrasah negeri. Masing – masing dituangkan dengan keputusan Menteri Agama No.
70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977. kemudian di dalam pelaksanaan teknis
persamaan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri telah diatur oleh
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/69/77, yang
mengatur tentang status madrasah terdaftar dan status madrasah dipersamakan
dengan persyaratan – persyaratannya.
3)
Dalam rangka efektifitas pendidikan di madrasah itu pula maka telah
dilakukan restrukturisasi madrasah dengan Keputusan Menteri Agama No. 15 Tahun
1976 ( untuk Madrasah Ibtidaiyah ), No. 16 Tahun 1976 ( untuk MTsN ), dan No.
17 Tahun 1976 ( untuk MAN ).
D. Madrasah dan
SKB 3 Menteri
Keberadaan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke 20 merupakan
jembatan antara pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada
tafaqquh fiddin dan sekolah umum yang lebih mengutamakan kurikulum pengetahuan
umum.[4]
Keberadaan madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah
dalam pendidikan nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan
madrasah tersebut, sebagai berikut :[5]
1.
Fase antara tahun 1945-1974
Pada fase ini madrasah lebih berkosentrasi kepada pendidikan
ilmu-ilmu agama, dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk
memperluas cakrawala pikir para pelajar. Pengertian madrasah pada fase ini
adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan
Menteri Agama RI No.7 Tahun 1950, madrasah adalah :
a.
Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.
b.
Pondok dan pesantren memberi pendidikan setingkat madrasah.
2.
Fase antara tahun 1975-1989
Fase diberlakukannya SKB Tiga menteri. Inti dari SKB ini adalah
diakuinya kesetaraan antara madrasah dengan sekolah : SD = MI, SLTP = MTs, dan
SLTA = MA. Definisi madrasah pada periode ini adalah lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
3.
Fase antar tahun 1990-sekarang
Fase ini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1898 (UUSPN)
dan diikuti dengan pelaksanaan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar dan Menengah. Madrsah pada fase ini berciri khas agama Islam, maka
program yang dikembangkan adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah
umum. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan
agama, seperti aqidah akhlak, fiqh, quran hadis, bahasa Arab, dan SKI. Pada
tingkat pendidikan menengah madrasah ini dibagi kepada dua macam, pertama
Madarsah Aliyah, program ini sama dengan sekolah menengah umum, kedua Madrasah
Aliyah Keagamaan.
Selanjutnya sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di
madrasah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof.
Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif
Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).[6]
Tujuan dari SKB Tiga Menteri tersebut adalah untuk meningkatkan
mutu pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata pelajaran umum di madrasah
mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum
yang setingkat.[7]
Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah,
yaitu:
a.
Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs
setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
b.
Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang
sederajat.
c.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat
lebih atas.
d.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB
Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
Dengan kehadiran SKB Tiga Menteri ini, madrasah yang pada awalnya
dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah mendapat pengakuan yang
lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional
walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama madrasah.
SKB Tiga Menteri ini mengakui madrasah sejajar dengan sekolah umum,
maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata
pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama,
hal ini menuntut madrasah agar mengembangkan kwalitas pendidikan dengan
berusaha memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum dalam bersamaan dengan
baik.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) Terdapat berbagai macam kebijakan yang dilakukan pemerintah
dalam upaya memperbaiki kwalitas pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan
tersebut dapat berbentuk kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
manajemen lembaga pendidikan, sistem pendidikan, profesionalisme pendidik
bahkan sampai kepada kebijakan pengembangan kurikulum.
Terlepas dari berbagai macam kebijakan tersebut yang telah
diupayakan oleh pemerintah, maka dalam pembahasan kali ini akan dibahas
mengenai Salah satu kebijakan pemerintah tersebut, yaitu kebijakan pengembangan
kurikulum, yang difokuskan kepada pembahasan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau
yang disingkat dengan KBK dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang
disingkat KTSP.
Untuk menyegarkan kembali tentang makna kurikulum, maka beragam
definisi tentang kurikulum tersebut telah mewarnai sepanjang perjalanan
pendidikan itu berlangsung. Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa kurikulum
sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik
(Saylor,Alexander, Lewis,1981). Kurikulum dalam hal ini sering dihubungkan
dengan usaha untuk memperoleh ijazah.
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai pengalaman
belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang
dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut
berada dibawah tanggung jawab sekolah (Hollis L caswell, Doak S.Campbell, dan
Murray Lee).
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai suatu program
atau rencana pembelajaran. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi
tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tujuan yang harus ditempuh
beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan ,
disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat
menunjang terhadap pencapaian tujuan (Hilda Taba, Donald E. Orlosky, dan Peter
F Olivia).
Mengenai makna kurikulum, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sit, tertuang bahwa kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (Bab 1,Pasal1 Ayat 19).
BAB III
KESIMPULAN
1. Pada tanggal 24
Maret 1975 dikeluarkanlah sebuah kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB)
3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri
Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
2. Dalam Implikasi
SKB 3 Menteri ada beberapa aspek yaitu meliputi aspek lembaga, kurikulum, siswa
dan aspek masyarakat.
3. Efektifitas SKB 3 Menteri adalah bertujuan
untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum
dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di
sekolah umum yang setingkat, kemudian meningkatan mutu pendidikan pada madrasah
agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai dan pembinaan fungsional dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri.
4. Keberadaan
madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan
nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut,
sebagai berikut:
a. Fase antara
tahun 1945-1974
b.
Fase antara tahun 1975-1989
c.
Fase antar tahun 1990-sekarang
Sejumlah
diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a.
Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs
setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
b.
Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang
sederajat.
c.
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat
lebih atas.
d.
Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB
Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Abdul, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia,
Jakarta: Wacana
Ilmu, 2005.
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2003.
Tobroni, Andi, Relevansi SKB 3 Menteri, Ciputat: IMI, 2004.
Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca
Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 197
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002),
http : /
/bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3
Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam
[4] Nurhayati
Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2008), hal 197
[5] Haidar Putra
Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan
: IAIN Perss Medan, 2002), h. 51-52
[6] http : /
/bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3
Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar