Sabtu, 06 Desember 2014

tentang SKB 3 menteri

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu.
Pemerintah RI tidak kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dan salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975.
Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan membahs tentang apa itu SKB menteri beserta sesuatu yang berhubungan dengannya.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana lahirnya SKB 3 Menteri?
2.       Bagaimana Implikasi dari SKB 3 Menteri?
3.      Bagaimana Efektifitas dari SKB 3 Menteri?
4.      Bagaimanakah Madrasah dan diberlakukannya SKB 3 Menteri?






BAB II
PEMBAHASAN
A.     Lahirnya SKB 3 Menteri 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “ Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal:[1]
1.      Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
2.      Menteri tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3.      Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan.
Dengan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu, penyelenggaran umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini juga dipandang oleh sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama pendidikan dan pembinaan umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat Islam yang lebih diperhatikan pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh umat Islam.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.
Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah.
B.      Implikasi SKB 3 Menteri 1975
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain adalah:[2]
1.      Aspek Lembaga
       Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
2.      Aspek Kurikulum
       Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
3.      Aspek Siswa
      Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
a.       Ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
c.       Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
4.      Aspek Masyarakat
      SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%).
       Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
       Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
      Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain:[3]
a.       Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
b.      Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
c.       Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
d.      Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
e.       Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
f.       Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
g.      Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
h.      Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
i.        Pemberian bantuan managemen pendidikan.
j.        Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
C.     Efektifitas SKB 3 Menteri 1975
1.      Keputusan Bersama Tiga Menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, sehingga:
a.       Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
2.      Peningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai meliputi bidang – bidang :
a.       Kurikulum
b.      Buku – buku pelajaran, alat – alat pendidikan lainnya dan sarana – sarana pendidikan lainnya.
c.       Pengajar.
3.      Pembinaan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri tersebut dilakukan pembagian tugas pembinaan sebagai berikut:
a.       Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b.      Pembinaan pelajaran agama dilakukan oleh Menteri Agama.
c.       Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama – sama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri.
Adapun bantuan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pada madrasah meliputi sebagai berikut:
a.       Dalam bidang pengajaran umum dengan mengadakan buku – buku mata pelajaran pokok dan alat pendidikan lainnya.
b.      Dalam bidang sarana fisik dengan melakukan penataran dan bantuan pengajaran.
c.       Dalam bidang sarana fisik dengan pembangunan gedung sekolah. Sedangkan pelaksanaan bantuan tersebut di atas diatur bersama – sama oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri.
d.      Badan anggaran dalam pelaksanaan ketentuan – ketentuan dalam SKB Tiga Menteri tersebut di atas, dibebankan kepada anggaran Departemen Agama, sedangkan yang berupa bantuan dibebankan kepada anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri.
e.       Dalam pelaksanaan SKB Tiga Menteri ini, Departemen Agama sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam bidang – bidang yang harus dilaksanakan telah mengusahakan hal – hal sebagai berikut:
1)      Melakukan pembakuan kurikulum madrasah untuk semua tingkat yang realisasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk Ibtidaiyah; No. 74 Tahun 1976 untuk Tsanawiyah; dan No. 75 Tahun 1976 untuk tingkat Aliyah. Pelaksanaan kurikulum ini dilaksanakan secara bertahap sejak tahun ajaran 1976 dan dalam tahun 1979 semua jenjang madrasah harus telah dapat melaksanakan kurikulum baru tersebut.
2)      Memberikan legalitas yuridis untuk mempersamakan tingkat / derajat madrasah dengan sekolah umum dan mempersembahkan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri. Masing – masing dituangkan dengan keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977. kemudian di dalam pelaksanaan teknis persamaan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri telah diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/69/77, yang mengatur tentang status madrasah terdaftar dan status madrasah dipersamakan dengan persyaratan – persyaratannya.
3)      Dalam rangka efektifitas pendidikan di madrasah itu pula maka telah dilakukan restrukturisasi madrasah dengan Keputusan Menteri Agama No. 15 Tahun 1976 ( untuk Madrasah Ibtidaiyah ), No. 16 Tahun 1976 ( untuk MTsN ), dan No. 17 Tahun 1976 ( untuk MAN ).
D.    Madrasah dan SKB 3 Menteri
Keberadaan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke 20 merupakan jembatan antara pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh fiddin dan sekolah umum yang lebih mengutamakan kurikulum pengetahuan umum.[4]
Keberadaan madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut, sebagai berikut :[5]
1.      Fase antara tahun 1945-1974
Pada fase ini madrasah lebih berkosentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk memperluas cakrawala pikir para pelajar. Pengertian madrasah pada fase ini adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama RI No.7 Tahun 1950, madrasah adalah :
a.       Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.
b.      Pondok dan pesantren memberi pendidikan setingkat madrasah.
2.      Fase antara tahun 1975-1989
Fase diberlakukannya SKB Tiga menteri. Inti dari SKB ini adalah diakuinya kesetaraan antara madrasah dengan sekolah : SD = MI, SLTP = MTs, dan SLTA = MA. Definisi madrasah pada periode ini adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
3.      Fase antar tahun 1990-sekarang
Fase ini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1898 (UUSPN) dan diikuti dengan pelaksanaan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Madrsah pada fase ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama, seperti aqidah akhlak, fiqh, quran hadis, bahasa Arab, dan SKI. Pada tingkat pendidikan menengah madrasah ini dibagi kepada dua macam, pertama Madarsah Aliyah, program ini sama dengan sekolah menengah umum, kedua Madrasah Aliyah Keagamaan.
Selanjutnya sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).[6]
Tujuan dari SKB Tiga Menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat.[7] Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a.       Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
b.      Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
c.       Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d.      Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
Dengan kehadiran SKB Tiga Menteri ini, madrasah yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama madrasah.
SKB Tiga Menteri ini mengakui madrasah sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, hal ini menuntut madrasah agar mengembangkan kwalitas pendidikan dengan berusaha memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum dalam bersamaan dengan baik.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Terdapat berbagai macam kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya memperbaiki kwalitas pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berbentuk kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan, sistem pendidikan, profesionalisme pendidik bahkan sampai kepada kebijakan pengembangan kurikulum.
Terlepas dari berbagai macam kebijakan tersebut yang telah diupayakan oleh pemerintah, maka dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Salah satu kebijakan pemerintah tersebut, yaitu kebijakan pengembangan kurikulum, yang difokuskan kepada pembahasan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang disingkat dengan KBK dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat KTSP.
Untuk menyegarkan kembali tentang makna kurikulum, maka beragam definisi tentang kurikulum tersebut telah mewarnai sepanjang perjalanan pendidikan itu berlangsung. Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik (Saylor,Alexander, Lewis,1981). Kurikulum dalam hal ini sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah.
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab sekolah (Hollis L caswell, Doak S.Campbell, dan Murray Lee).
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan , disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan (Hilda Taba, Donald E. Orlosky, dan Peter F Olivia).
Mengenai makna kurikulum, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sit, tertuang bahwa kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Bab 1,Pasal1 Ayat 19).














BAB III
KESIMPULAN
1.      Pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkanlah sebuah kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
2.      Dalam Implikasi SKB 3 Menteri ada beberapa aspek yaitu meliputi aspek lembaga, kurikulum, siswa dan aspek masyarakat.
3.       Efektifitas SKB 3 Menteri adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, kemudian meningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai dan pembinaan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri.
4.      Keberadaan madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut, sebagai berikut:
a.       Fase antara tahun 1945-1974
b.      Fase antara tahun 1975-1989
c.       Fase antar tahun 1990-sekarang
Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a.       Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA.
b.      Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
c.       Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d.      Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).


















DAFTAR PUSTAKA
Arif, Abdul, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Wacana
Ilmu, 2005.
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
Tobroni, Andi, Relevansi SKB 3 Menteri, Ciputat: IMI, 2004.
Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 197
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002),
 http : / /bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3 Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam



















[1] Arif, Abdul, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, hal. 75
[2] Tobroni, Andi, Relevansi SKB 3 Menteri, hal. 87
[3] Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, hal. 89.


[4] Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal 197
[5] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002), h. 51-52

[6] http : / /bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3 Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam
[7] Haidar Putra Daulay, ibid. hal. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar